PDM Kabupaten Banggai - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Banggai
.: Home > Artikel

Homepage

Mudik Lebaran Sebagai Peristiwa Batin

.: Home > Artikel > PDM
20 Juni 2017 13:44 WIB
Dibaca: 840
Penulis : David Efendi

foto: transsulawesi.com

 

Mudik adalah peristiwa kebathinan yang tiap orang dapat menjadi bagian dari peristiwa mudik ini. Artinya, mengembalikan kesucian jiwa dapat dilakukan oleh setiap insan untuk memandu hidup yang akan dilanjutkannya.

 

Mudik atau pulang kampung dapat dimaknai bukan hanya peristiwa lahiriah—pulang secara fisik dari tempat domisili dan bekerja ke kampung dimana ia dilahirkan atau rumah orang tua. Bagi yang tidak memiliki penanda-penanda ideal mudik jasadi, mudik harus diciptakan sebagai peristiwa spiritual yang menghendaki pemaknaan atas suasana kebathinan. Juga barangkali ada jalan ketiga, bahwa peristiwa mudik adalah peristiwa pertautan antara yang ilahiyah atau bathiniyah dengan yang lahiriah yang dibuktikan daru tindakan-tindakan manusiawi—silaturahmi keluarga, solidaritas sosial, dan filantropi yang menjembatani hal-hal yang menjadi perintah Ilahi (ketuhanan) dengan memuliakan kemanusiaan.

 

Pertama, mudik sebagai peristiwa lahiriah. Sebagai peritiwa perpindahan jasad di saat lebaran atau menjelang hari raya Iedul Fithri merupakan peristiwa yang sudah lama dilakoni dan telah menjadi bagian dari kebudayaan di nusantara ini. Di banyak masyarakat islam di Asia peristiwa ini juga terjadi. Peristiwa pulang kampung juga bukan dominasi kebudayaan islam semata. Bangsa-bangsa israil atau Yahudi yang berdiaspora di jagat raya, sebagai contoh, juga mempunyai imajinasi dan praktik ‘pulang kampung’ dimana mereka merasa memiliki nenek moyang. Barangkali yang jarang sekali ada peristiwa mudik adalah kelompok China diaspora—karena mereka dapat menjadikan kampung dimana mereka tinggal dan menetap. Karenanya mudik dapat dipahami sebagai peristiwa kebudayaan ketimbang peristiwa agama secara an sich, dapat dimengerti sebagai peristiwa kejiwaan (hati) ketimbang peristiwa fisik-material (jasadi).

 

Peristiwa lahiriah ini paling dominan disematkan orang-orang untuk kata ‘mudik’ dan ‘lebaran’ sehingga upaya untuk mewujudkannya sedemikian keras. Kita bisa menyaksikan peristiwa Tol Brebes yang menelan korban banyak, kecelakaan lalu lintas saat mudik, dan juga peristiwa percaloan yang begitu massif beberapa tahun silam untuk mengilustrasikan: semua orang butuh tiket pulang kampung, semua orang berebut tiket sehingga jalur-jalur illegal dan informal dihidupkan sedemikian rupa sebagai peristiwa layaknya pasar—ada permintaan ada barang. Seringkali, tak peduli keabsahan dan legalitas barang itu. Di saat yang sama juga memprihatinkan karena pemerintah tidak cukup antisipatif mengelola peristiwa mudik lahiriah ini. Dalam konteks ekonomi, mudik juga mendistribusikan pendapatan sangat luar biasa juga memberikan beragam kesempatan ekonomi lokal untuk menikmati bonus ekonomi mudik ini. Barangkali bonus ini juga akan bertambah di saat bonus demografi bekerja dan pada saat lebaran ke kampung ‘udik’. Hampir semua kabupaten/kota memiliki tempat rekreasi keluarga di saat pekan lebaran dan itu jelas sangat mendinamisasi perekonomian di daerah-daerah.

 

Kedua, mudik sebagai peristiwa bathin. Bagi ummat Islam dikenal 1 Syawal adalah Iedul Fithri atau hari raya suci—kembali ke kesucian sehingga peristiwa budaya lebaran adalah peristiwa take and give, memohonkan permaafan bagi dan untuk orang lain: orang tua, keluarga, guru, teman, kolega, atasan, bawahan, dan sebagainya. Bahkan, permaafan ini juga diberikan dan untuk orang-orang yang sudah tiada sebagai bentuk ikatan kemanusiaan dan juga kebaktian seorang anak yang membutuhkan restu di dunia untuk akherat. Mudik kemudian menjadi peristiwa tahunan nan sangat sakral karena nuansa intangible di dalamnya.

.

Bagi yang mudik secara ruhaniayah atau spiritual ini, peristiwa paling bermakna adalah peningkatan kualitas hidup yang ditopang oleh keseimbangan kapasitas spiritual dan moral untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik dan berkah. Selain itu, peristiwa mudik bathin adalah mengembalikan keseimbangan hidup antara yang materi dengan non-material, memperkokoh jati diri dengan memilah tindakan antara yang etis dan tidak etis, wajar dan tidak wajar, jujur dan korup—juga dalam konteks pemerintahan berarti bagaimanan penyelenggara pemerintahan semakin baik dan bersandar pada nilai luhur sebagai basis pekerjaan dan kebijakan ketimbang berorientasi pada alat atau hasil—materialistik. Ketidakseimbangan akan membuahkan kecelakaan dan kemudharatan seperti kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi seringkali menegasikan dan memarginalkan aspek-aspek manusiawi. Mudik bagi pemerintah, adalah mengembalikan porsi kebajikan pada kebijakan publik untuk mendorong kehidupan yang lebih adil dan bermakna.

 

Barangkali peristiwa mudik tentu saja bukan hanya bagi yang menjalani puasa sebulan penuh. Mudik adalah peristiwa kebathinan yang tiap orang dapat menjadi bagian dari peristiwa mudik ini. Artinya, mengembalikan kesucian jiwa dapat dilakukan oleh setiap insan untuk memandu hidup yang akan dilanjutkannya. Bulan puasa memang menjadi sangat bermakna untuk melatih jiwa, kepekaan, solidaritas, keshalehan spiritual, keshalehan sosial, sehingga bagi yang menjalaninya peristiwa mudik adalah peristiwa kembalinya kesucian jiwanya, kesucian perilakunya, dan kesucian niatnya sebagai hambah yang senantiasa memuliakan Sang Pencipta, dengan memuliakan sesama.

 

Terakhir, mudik sebagai sebagai peristiwa bathin sekaligus peristiwa lahir adalah proses mempertautkan antara dimensi yang ilahi dengan dimensi yang ukhrowi atau ilahi. Keterpautan kedua aspek dimensional ini menunjukkan bahwa manusia secara kodrati adalah makhluk yang multidimensional—makhluk paling sempurnah dengan kapasitas akal dan pikiran yang luar biasa. Dalam diri manusia, aspek dikotomis antara lahiriah dan bathiniyah juga bisa dipertemukan dalam satu peristiwa hablum minnal Allah dan hablum mina naas. Karena kekuatan paripurna manusia inilah, masih terhubung dengan mudik, untuk memandang kehidupan materi dan non-meteri yang seimbang dituliskan sebuah hadis: Bekerjalah sekuatmu seolah engkau akan hidup selamanya, dan beribahlah sekuatmu seolah engkau akan mati besok. Dengan gubahan sedikit bisa diungkapkan bahwa mudiklah seolah ini adalah mudikmu yang terakhir, perjumpaanmu terakhirmu dengan keluarga dan handai taulan sehingga seseorang akan menanam lebih banyak kebaikan di dalam kehidupan yang dilakoninya kelak.

 

Mudik lahiriah memang menawarkan banyak kebaikan hidup, tapi jangan melupakan bahwa mudik sejati adalah peristiwa spiritual yang penting untuk tidak dilewatkan. Mudiklah ke pelukan keluarga di kampung, dan jangan lupa mudik yang abadi adalah mudik kepada perkampungan abadi milik sang penguasa alam semesta dan isinya.

 

*Pegiat literasi di Rumah Baca Komunitas


Tags: Mudik , Lebaran , PeristiwaBatin

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website